Korupsi
Korupsi
berasal dari bahasa Latin, corruptio, corruptus. Berarti suatu
perbuatan buruk, busuk, bejat, dapat disuap, tidak bermoral. Dalam Bahasa Arab
dikenal dengan istilah riswah, artinya penggelapan, kerakusan,
amoralitas, dan segala penyimpangan kebenaran
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan
korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi dengan berbagai definisi dan manifestasinya
telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah negeri yang
bernama Indonesia. Rakyat Indonesia sudah sangat lelah mendengar dan membicarakannya.
Seringkali korupsi dilakukan tidak secara personal, tetapi dilakukan secara kolektif, struktural, dan sistemis. Sehingga secara tidak langsung korupsi lambat laun menjadi sebuah budaya. Fenomena itu pun terjadi di Indonesia, sehingga diperlukan strategi pemberantasan korupsi secara kolektif, struktural, dan sistemis.
Seringkali korupsi dilakukan tidak secara personal, tetapi dilakukan secara kolektif, struktural, dan sistemis. Sehingga secara tidak langsung korupsi lambat laun menjadi sebuah budaya. Fenomena itu pun terjadi di Indonesia, sehingga diperlukan strategi pemberantasan korupsi secara kolektif, struktural, dan sistemis.
Latar Belakang
Di
dalam hiruk-pikuk masyarakat dunia termasuk di Indonesia dewasa ini terjadi
tindak kriminal yang sudah membudaya dan sangat kronik.
Suatu
tindakan dapat digolongkan korupsi, kalau tindakan itu merupakan penyalahgunaan
sumber daya publik, yang tujuannya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau
kelompok.[1]
Hasil
survei (3/3/2004) Political And Economic Risk Consultacy Ltd. (PERC)
menyatakan bahwa korupsi di Indonesia menduduki skor 9,25 di atas India (8,90),
Vietnam (8,67), Filipina (8,33), dan Thailand (7,33). Artinya, Indonesia masih
menjadi negara terkorup di Asia. Apabila banyak upaya baik tingkat legislatif,
yudikatif, dan eksekutif untuk memberantas korupsi. Maka timbul pertanyaan
apakah korupsi telah membudaya? Mampukah Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
dijadikan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia?
Sejarah
lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran
serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.Karenanya ada tiga hal yang perlu digarisbawahi yaitu ‘mencegah’,
‘memberantas’ dalam arti menindak pelaku korupsi, dan ‘peran serta masyarakat’.
Kabinet Djuanda
Di
masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang
pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang
Keadaan
Bahaya,
lembaga ini disebut Panitia Retooling
Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu
oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada
Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat
tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model
perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan
dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada
Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada
Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock,
dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Di
era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan
mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai
komisi atau badan baru, seperti Komisi
Pengawas
Kekayaan
Pejabat
Negara (KPKPN), KPPU,
atau Lembaga Ombudsman.
Presiden berikutnya,
Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim
Gabungan
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
(TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah
semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui
suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun
1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi
terbaru yang masih eksis.
Peran
Serta Negara dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
Perang
terhadap korupsi merupakan focus yang sangat signifikan dalam suatu Negara
berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan.
Salah satu unsure yang sangat penting dari penegakan hokum dalam suatu Negara
adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang
imun, meluas, permanent dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.
KPK
sebagai lembaga independent, artinya tidak boleh ada intervensi dari pihak lain
dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin. KPK juga sebagai
control sososial dimana selama ini badan hukum kita masih mandul. Contohnya
seperti terungkapnya kasus Nyonya Artalita, dimana aparat hukum kita yang
seharusnya membongkar kasus korupsi justru bisa disuap oleh Nyonya Artalita dan
yang akhirnya berhasil dibongkar oleh KPK.
UPAYA
KPK DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DI KALANGAN PEJABAT TINGGI DAN ELIT
POLITIK
Indonesia
merupakan Negara dunia kegita, yang dalam artian bahwa Indonesia tergolong
dalam kelompok Negara berkembang. Dalam proses perkembangan itu, Indonesia mencoba
mensejajarkan diri dengan Negara-negara Eropa yang sudah terlebih dahulu
mencapai kemajuan. Perkembangan dalam dunia politik juga tidak kalah cepatnya
disbanding dengan perkembangan sendi-sendi kehidupan lainnya seperti ekonomi
dan ilmu pengetahuan.
Sebagai Negara
berkembangan, politik yang terjadi di Negara itu sendiri yang dalam hal ini
adalah Indonesia masih dalam tahap pendewasaaan. Sehingga masih banyak terlihat
kekurangan dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Demikian juga dengan sikap
para elit politik Indonesia yang masih tergolong haus akan kekuasaan. Oleh
karena banyak kita temui kecurangan dalam pelaksanaan politik di Indonesia.
Baik dari sikap para pejabat tinggi Negara maupun para elit politik tersebut.
Seakan-akan mereka haus akan harta dan tahta. Bukan sekedar menjalanakan tugas
dan kewajiban untuk mensejahterakan rakyat.
Dalam pelaksanaannya
KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak
pidana korupsi. Tidak dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK
menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena KPK
dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimana
pun. Seperti yang telah kita lihat pada akhir-akhir ini. Dalam kasus
penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap langsung oleh KPK
dengan mencegat mobilnya di pinggir jalan. Demikian juga dengan pemeriksaan KPK
terhadap tersangka kasus korupsi Al Amin Nasution, KPK tanpa segan-segan
menggeledah kantor anggota DPR RI tersebut.
Melihat
dari sikap KPK yang tergolong tegas dan tepat itu, mungkin menjadi terapi shock
kepada para koruptor lainnya. Secara tidak langsung kewenagan KPK yang
terkadang dianggap melanggar privasi seseorang ini, menjadi salah satu hal yang
dapat membuat orang untuk berpikir ulang untuk melakukan tindak pidana korupsi
karena takut di tangkap oleh KPK yang datang seperti angin tanpa bisa diduga.
PENGARUH
TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT DAN ELIT POLITIK TERHADAP
RAKYAT KECIL
Dalam
kenyataannya, perbuatan korupsi yang telah dilakukan oleh para pejabat tinggi
Negara dan elit politik yang sepertinya sudah menjadi warisan dari rezim Orde
Baru dan telah menyisakan penderitaan bagi rakyat Indonesia yang hingga kini
belum dapat diatasi. Korupsi yang telah terjadi selama bertahun-tahun memasuki
setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak, terutama rakyat kecil yang
tidak tahu-menahu dengan urusan politik.
Sikap
korup para pejabat tinggi Negara dan elit politik telah memporak-porandakan
perekonomian Negara pada khususnya. Korupsi miliaran bahkan triliunan rupiah
telah menghisap habis yang seharusnya menjadi hak rakyat Indonesia sebagai
warga Negara. Korupsi yang terjadi bukan hanya dalam satu departemen saja.
Sepertinya setiap departemen berlomba untuk korupsi. Banyak dana Negara yang
hilang entah kemana dan penggunaannya tanpa tujuan yang jelas. Kebanyakan dana
itu masuk ke kantong pribadi ataupun kelompok tertentu yang dengan sengaja
menyelewengkan dana tersebut untuk kepentingan sendiri atau kelompok.
Akibatnya
banyak rakyat yang sampai saat ini tidak dapat memperoleh haknya. Misalnya
seperti korupsi terhadap dana kesehatan, pendidikan ataupun subsidi BBM yang
harusnya direalisasikan demi kepentingan masyarakat Indonesia yang khususnya
masyarakat miskin. Namun karena dana-dana tersebut telah dikorupsikan sebelum
sampai ke tangan orang yang berhak, sehingga banyak rakyat yang kurang mampu
tidak dapat mengecap pendidikan, tidak dapat berobat serta tidak mampu membeli
minyak untuk kebutuhan sehari-hari. Sedikit banyaknya masyarakat miskin di
Indonesia, dapat kita katakan akibat dari korupsi yang merajalela di kalangan
pejabat dan elit politik. Suatu Negara akan maju dan berkembang apabila
didukung dengan pemerintahan yang bersih.
Pengaruh dan upaya penuntasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
1. Sebuah
Negara akan maju dan berkembang apabila didukung dengan pemerintahan yang adil
dan bersih dari unsur-unsur korupsi.
2. Sikap
korup para pejabat dan elit politik merupakan penyebab timbulnya masalah
kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
3. Dibutuhkan
sebuah sikap yang tegas dan profesional untuk memberantas tindak pidana korupsi
di Indonesia.
Dalam
ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Korupsi tidak ditemukan pengertian tentang korupsi. Akan
tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik
formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 mengatur secara
tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud. Pasal 2
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai berikut : “Setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman
negara...” Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan
: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara...”
Definisi yuridis di atas merupakan batasan formal yang ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu di suatu negara. Oleh karena itu, batas-batas korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara.
Definisi yuridis di atas merupakan batasan formal yang ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu di suatu negara. Oleh karena itu, batas-batas korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara.
Daftar kasus korupsi di Indonesia
HPH
dan dana
reboisasi:
melibatkan Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah
pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
0 komentar:
Posting Komentar